Oleh : Apriadi Abdi Negara – Pemerhati Hukum
Pernyataan Ketua Forum Kepala Desa (FKD) Kabupaten Lombok Tengah yang mendorong percepatan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap salah satu kursi kosong DPRD dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) patut dikritik. Secara etika jabatan, pernyataan itu keliru. Secara hukum, ia juga menunjukkan tumpang tindih kewenangan antara pemerintahan desa dan urusan kedaulatan partai politik dalam sistem demokrasi.
Kepala desa adalah jabatan publik nonpartisan yang diwajibkan netral dalam urusan politik. Terlibat dalam dinamika internal partai, apalagi menyuarakan tekanan publik terhadap proses PAW, adalah tindakan yang melampaui batas dan mengancam profesionalisme aparatur desa. Pasal 29 huruf (g) tetap bertahan tanpa perubahan dalam UU Desa terbaru (UU No. 3 Tahun 2024) bahkan secara tegas melarang kepala desa mencampuri urusan partai politik.
Kekosongan sementara satu kursi DPRD dari PPP di Dapil 4 bukanlah kegentingan konstitusional. PPP masih memiliki wakil-wakil sah di DPRD Lombok Tengah yang bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat dapil tersebut. Argumen bahwa konstituen dirugikan justru menyesatkan opini publik.
Yang lebih krusial untuk ditegaskan adalah posisi hukum Sahabudin, yang menjadi sorotan dalam proses PAW. Ia bukan calon terpilih dalam Pemilu 2024 yang belum dilantik, melainkan calon PAW dari PPP berdasarkan hasil Pemilu 2024, karena berada pada posisi perolehan suara terbanyak berikutnya dalam daftar calon tetap (DCT) partai.
Memang benar Sahabudin saat ini sedang menjalani pidana terkait penggunaan gelar palsu. Namun, secara hukum:
1. Ia tidak dipecat dari keanggotaan PPP,
2. Ia tidak didiskualifikasi oleh KPU maupun Bawaslu,
3. Putusan pengadilan tidak mencabut hak politiknya, karena tidak mengandung amar pencabutan hak untuk dipilih.
Dengan demikian, hak politik Sahabudin tetap utuh, dan partai politik berhak secara sah dan konstitusional untuk menunggu sampai Sahabudin selesai menjalani pidana, sebelum mengusulkan namanya ke KPU sebagai pengganti antar waktu.
Hal ini sesuai dengan Pasal 30 huruf e Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2017 dan Pasal 426 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan bahwa calon PAW harus memenuhi syarat pencalonan (Dengan ijazah SLTA yang sah) dan tidak sedang kehilangan hak pilih. Karena tidak ada pencabutan hak politik dalam amar putusan, maka secara teori dan praktik hukum, PPP tidak melanggar apa pun dengan mempertahankan Sahabudin sebagai calon PAW.
Lebih jauh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pembatasan hak politik harus dinyatakan secara tegas dalam putusan pengadilan dan bersifat proporsional.
Demokrasi lokal akan rusak bila lembaga-lembaga desa masuk ke ranah politik kepartaian. Biarkan partai politik menjalankan haknya sesuai konstitusi dan hukum yang berlaku. PAW adalah hak partai, bukan panggung untuk forum kepala desa.